Oleh : Mualim*
Konon, seorang saudagar kaya
raya tersesat di tengah padang pasir. Ia seperti mengarungi labirin. Ia sudah
mutar muter mencari jalan keluar. Namun yang ia temui hanya hamparan pasir. Ia
menengok kanan ia lihat lautan pasir. Begitu pula, ia tengok kiri, yang ada ya
lautan pasir. Sehingga ia merasakan
perjalanan hari itu begitu berat. Ditambah bekal makanan sudah habis. Begitu
pula, bekal minuman juga sudah habis. Meski demikian ia masih memiliki dua
karung emas berlian.
Sementara
itu perjalanan masih panjang. Ia tidak tahu kapan perjalanan akan berakhir. Ia
bingung. Ia sedih. Kemanapun kaki melangkah yang terlihat hanya hamparan panas
pasir. Hal ini membuatnya frustasi. Sedih, bingung, marah bercampur menjadi
satu. Sementara terik matahari terus menyengat. Saudagar kaya raya itu lapar.
Perutnya menuntut untuk makan. Makan apa, lha wong bekal sudah habis.
Lebih
dari itu, yang justru yang membuatnya semakin letih dan lemas adalah rasa haus
yang mendera. Kerongkongan kering. Minta segera dialiri air. Padahal persediaan
air sudah habis, hanya tinggal botolnya saja. Badannya mulai bergetar, ndredheg.
Tanda ia merasakan kehausan yang sangat. Ini tandanya ia bisa saja binasa, mati
kehausan bila tidak segara mendapatkan air untuk minum.
Ditengah
kebingungan dan kesedihan tersebut ia melihat lelaki tua mendekatinya. Harapan
muncul. Ia minta tolong kepadanya. Ia berharap orang tua tersebut berbaik hati
memberinya minum barang seteguk dua teguk air. Tetapi siapa sangka, orang tua
tersebut mengajukan syarat yang mengejutkannya. Orangtua tersebut akan
memberinya minum jika ia bersedia menyerahkan dua karung emas berlian miliknya.
Jika
anda menjadi saudagar tersebut, akankah anda tetap mempertahankan kedua karung
emas berlian, dengan konsekuensi anda mati kehauasan? Ataukah anda akan melepas
dua karung emas berlian tersebut demi seteguk air?
“Segar. Nikmat luar biasa!” gumamnya.
Ternyata
saudagar tersebut memilih melepas dua karung emas berlian miliknya demi sebotol
air minum.
Cerita
di atas adalah karangan saya. Tidak terjadi di alam nyata. Lewat ilustrasi
cerita tersebut saya ingin menyatakan bahwa kita akan mendapatkan nikmat yang
luar biasa ketika kita makan minum di
saat kita sedang lapar dan haus.
Bagi
orang yang sedang berpuasa adalah suatu kenikmatan yang luar biasa ketika adzan
maghrib berkumandang. Setelah seharian penuh—mulai subuh sampai maghrib—menahan
haus dan lapar begitu maghrib tiba ia segera berbuka. Bagi yang berpuasa
sedangkan ia bekerja di tempat teduh, menahan lapar dan dahaga mungkin tidak
seberapa beratnya. Tetapi bagi pekerja keras, yang menguras tenaga, menguras
keringat, di tengah terik matahari, menahan lapar dan dahaga saat berpuasa
adalah perjuangan yang luar biasa berat.
Karena
itu, begitu maghrib tiba, meneguk seteguk air merupakan kenikmatan yang luar
biasa. Meneguk segelas teh hangat menjadikan badan yang semula lemas menjadi
segar kembali. Atau meneguk segelas es teh akan membuat badan yang semula letih
menjadi bugar kembali. Semangat membuncah. Nikmat luar biasa! Ibarat bunga yang
kering, layu, akan mati, kemudian mendapatkan siraman air. Segar kembali!
Kenikmatan saat berbuka inilah salah satu anugerah Allah bagi orang yang
berpuasa.
Mari
kita simak sabda Nabi SAW berikut:
لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ
عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Artinya, “Orang yang berpuasa akan meraih dua
kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan
ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim).
Sabda Nabi SAW di atas memberi gambaran
kepada kita dua kenikmatan yang akan dirasakan oleh orang yang berpuasa. Pertama,
kenikmatan jasmani. Kenikmatan ini bersifat lahiriah, badaniyah, fisik-jasmani.
Orang yang berpuasa akan langsung bisa meneguk kenikmatan jenis ini ketika ia
berbuka.
Makan dan minum bagi orang lapar dan dahaga
adalah kenikmatan yang luar biasa. Seruputan yang pertama nikmat luar biasa.
Seruputan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya kadar kenikamatan berangsur-angsur
berkurang. Inilah kenikmatan jasmani, kenikmatan yang jika sudah terpenuhi
kebutuhan jasmani kita, maka rasa nikmat sedikit demi sedikit akan berkurang.
Bagi orang yang sudah keyang, makan tidak akan menambah nikmat, justru akan
membuat perut sakit.
Kedua, kenikmatan rohaniah. Yakni kenikmatan yang akan kita rasakan
ketika bertemu dengan Allah SWT. Kenikmatan ini akan kita rasakan besok di hari
akhir, di hari kiamat. Saat ini kita tidak bisa langsung merasakannya. Tetapi
besok di hari akhir ketika semua amal manusia dihisab dan dibalas, kita akan
merasakan balasan puasa kita. Dan nikmat yang paling agung adalah ketika kita
bertemu dengan Allah SWT, Sang Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan Maha Penolong.
Kenikmatan rohaniah ini sulit untuk
diceritakan, sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Andai digambarkan dengan
kata-katapun tidak akan bisa menggambarkannya dengan baik, apalagi sempurna.
Sebagai ilustrasinya saja, betapa bahagia dan
nikmatnya seorang kekasih ketika ia bertemu dengan orang yang ia cintai. Betapa
sumpringahnya, bahagianya Nabi Adam a.s ketika bertemu dengan Ibunda
Hawwa’ setelah sekian tahun berpisah. Betapa berbunga-bunganya hati Zulaikkah
ketika melihat Yusuf. Betapa gembiranya hati Qais ketika memandang Laila,
kekasih yang ia dambakan. Semuanya merupakan gambaran kenikamatan, kebahagiaan,
kegembariaan yang tiada tara. Ini baru kenikmatan memandang, melihat, dan
bertemu dengan makhluk.
Bagaimana jika besok di akhirat, orang-orang
yang berpuasa bertemu dengan Allah, Sang Khaliq. Betapa bahagianya, betapa
gembiranya, betapa nikmatnya, jika besok orang-orang yang berpuasa bertemu
dengan Allah Yang Maha Indah.
*Penulis adalah pengajar di MTs. NU Miftahul Falah
Komentar0