Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullah. Pak kiai yang saya hormati, saya mau bertaya. Bagaimanakah tatacara meng-adzani bayi? Apakah ketika lahir (belum dibersihi, masih menangis) langsung diadzani? Ataukah diadzani setelah bayi dibersihkan oleh petugas medis (bidan)? Apakah yang mengadzani harus orangtua (bapak) nya sendiri? Atau boleh orang lain, misalnya petugas medis (bidan)? Dan bagaimana cara mengubur / menanam ari-ari yang benar menurut hukum islam? Syukron (Nama Samaran) Kaliwungu.
Jawaban
Wa'alaikumussalam warahmatullah. Saudara penanya dan pembaca yang dirahmati oleh Allah. Apabila jabang bayi telah lahir dari rahim ibunya, maka disunnahkan untuk diperdengarkan lantunan adzan di telinga kanannya, dan lantunan iqamah di telinga kirinya. Hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang hadir/ada pada saat bayi lahir.
Menurut pendapat yang mu'tamad, yang mengadzani harus laki-laki. Meski demikian, ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa yang adzan tidak harus laki-laki. Karena itu wanita (bidan, misalnya) boleh mengadzani bayi yang baru lahir.
Caranya, kumandangkanlah adzan dan iqamat dengan suara rendah (tidak keras-keras) di dekat telinga bayi. Adzan dan iqamat tersebut dilakukan setelah sang bayi lahir dan sudah dibersihkan dari cairan dan kotoran karena persalinan.
Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Rafi’:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ
فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.
“Dari Abi Rafi, ia berkata:
Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani telinga Al-Hasan
bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan adzan shalat” (HR. Abu Daud :
5105, At-Tirmidzi : 1514 dan Ahmad 23869). Imam At-Tirmidzi
mengkategorikannya sebagai hadits yang ‘hasan shahih’.
Selain hadits di atas, ada juga hadits riwayat Husein bin Ali:
عن الحسين بن علي بن أبي طالب، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى
وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Dari Husein, ia
berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang
dilahirkan untuknya seorang bayi, lalu dia mengazani telinganya sebelah kanan,
dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, maka ia tidak akan celaka oleh Ummu
Shibyan (jin pengganggu anak kecil)” (HR. Abu Ya’la : 6780).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, jelaslah bahwa melantunkan adzan pada telinga kanan sang bayi sesaat setelah dilahirkan ibunya merupakan syariat yang disunnahkan. Dengan lain kata, hal itu merupakan syariat yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Saudara penanya dan pembaca yang dirahmati oleh Allah.
Sebagaimana kita maklumi, bahwa kalimat adzan adalah kalimat dakwah yang sempurna. Kandungan isinya adalah kalimat tauhid dan dilengkapi dengan ajakan shalat serta ajakan untuk meraih kejayaan hidup di dunia dan akhirat Oleh karena itu, sebelum sang bayi mendengarkan ucapan dan suara lain yang belum tentu mendidik atau bahkan kotor, alangkah baiknya jika terlebih dahulu diperdengarkan kalimat tauhid untuk mengingatkan janji yang kita ucapkan di hadapan Allah sebelum kita diciptakan.
Allah mengingatkan perjanjian tersebut dalam firman-Nya :
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِیۤ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ
وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ شَهِدۡنَاۤۚ
Artinya :
"Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka, dan Allah
mengambil janji terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku (Allah)
ini Tuhan kalian? Mereka menjawab: Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi
saksi ...."
(QS. Al-A'raf : 172)
Selain mengingatkan si jabang bayi atas janjinya untuk men-tauhidkan Allah, lantunan suara adzan itu bisa berfungsi mendidik akidah yang benar kepada anak. Sebab pendidikan akan akidah merupakan pendidikan yang paling mendasar. Hanya dengan akidah yang benar sajalah seseorang dapat meniti kehidupannya secara benar menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Selain diperdengarkan lantunan adzan di telinga kanan, di telinga kiri bayi juga diperdengarkan lantunan suara Iqamah. Sehingga indra pendengaran jabang bayi tertanami dan terbentengi oleh suara kalimat tauhid. Dengan demikian, maka selamatlah ia dari bisikan iblis dan manusia yang hendak merusak akidahnya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Husain bin Ali dalam sebuah khabar :
"Barangsiapa dikaruniai anak, kemudian melantunkan suara adzan prada telinga kanannya dan suara iqamat pada telinga kirinya, maka selamatlah ia dari bisikan jin". (HR. Ibnussunni : 623)
Saudara penanya dan pembaca yang dirahmati oleh Allah.
Kalimat-kalimat dalam iqamat nyaris sama persis dengan kalimat-kalimat dalam adzan, hanya saja lebih sedikit jumlahnya. Jika dalam adzan diucapkan dua kali-dua kali, maka dalam iqamat cukup satu kali dan ditambah kalimat: “Qad qaamatis shalaah” dua kali. Ini mengisyaratkan bahwa kalimat iqamat menekankan pada penegakan shalat "yang notabene adalah penegakan komunikasi dua arah antara manusia dengan Allah, dan penegakan penghambaan diri manusia kepada Allah. Karena itu, tanpa shalat mustahil seseorang akan dikategorikan sebagai insan yang berjiwa tauhid, insan saleh dan bertakwa.
Saudara penanya dan pembaca yang dirahmati oleh Allah.
Ari-ari atau plasma yang keluar mengiringi bayi hendaknya dikebumikan. Semua anggota badan yang terpisah termasuk kuku, rambut, dan psar hendaknya dikebumikan.
Seperti yang tertera di kitab fiqh, potongan anggota tubuh dari seseorang yang masih hidup hukumnya disunnahkan untuk dibasuh, dibungkus dengan kain kafan, kemudian dikebumikan dengan maksud memuliakan Si Empunya. Maka adat mengebumikan ari-ari layak dilestarikan dalam rangka memuliakan bayi pula.
Adapun memperlakukan ari-ari dilengkapi bumbu (seperti kunyit dan lain-lain.) adalah sebagai lambang harapan (tafaul), seperti ketika beraqiqah adalah disunahkan tidak memotong tulang-tulang, sebagai lambang harapan keselamatan dan keutuhan anggota-anggota badan anak yang diaqiqahkan.
Dalam sebuah hadis dikatakan:
كان لا يتطير ولكن يتفاءل
"Adalah beliau
(Nabi) tidak mengadakan kesialan (pesimisme), tetapi beliau mengadakan harapan
(optimisme). (HR. al-Hakim dan Al-Baghawi, dari Burdah). (Al-Jami' Al-Shaghir
112).
Selain itu, ada ijazah dari Kiai, saat pengebumiannya
dibacakan pula beberapa hal sebagai berikut:
1. Dua kalimat syahadat, shalawat
2. Doa dengan bahasa Jawa, yaitu;
"Jabang bayi, ojo kakean nangis, ojo kakean beka, ojo kakean penyakit. Tho'at marang Gusti Allah lan Rasulullah. Tundhuk marang wong tuwo loro. Apik marang sedulur lan masyarakat. Migunani marang nuso, bongso lan agomo".
Lalu dijawab sendiri
(dengan mengatakan): " inggih...inggih...inggih".
Demikian, semoga diridhai Allah, bermanfaat, dan barokah. Amiin.
Referensi :
1. I'anatutthalibin,
1/230, 2/338
2. Hasyiyah
al-Syarqawi 'ala al-Tahrir, 1/227
3. Busyro al-Karim,
2/130
4. Hasyiyah Al-Bajuri
'ala Ibni Qasim, 1/161
5. Al-Majmu' syarh Al-muhaddzab, hal. 1918
(Baitul Afkar al-Dauliyyah)
6. Al-Fiqhu Al-Islami
wa Adillatuh, 1/561
7. Hasyiyah
al-Syarwani, 3/161
8. Hasyiyah
Al-Qolyubi, 1/337
9. Al-Hujaj
Al-Qath'iyyah fi shihhati al-Mu'taqadat wa al-'Amaliyyat al-Nahdhiyyah, hal.
203
10. Al-Minah
Al-Qudsiyyah, halaman 47
Komentar0